Ilmu : Sendi-Sendi Hikmah
Oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qathani
Kita
semua sepakat bahwa sebuah gedung yang tinggi (misalnya masjid Is-Tiqlal di
Jakarta) pasti memerlukan banyak ahli ilmu teknik bangunan yang mereka
benar-benar ahli (Insiyur Teknik Sipil dan Arsitektur) alias berilmu dalam
bidangnya dan berpengalaman agar gedung itu berdiri dengan kuat,kokoh dan awet.
Juga seseorang yang mengobati penyakit haruslah berpendidikan kesehatan
(dokter mis.) Namun ketika orang-orang ditanya bagaimankah membangun umat Islam
ini ? Maka mayoritas orang tidak terlalu memikirkan bagaimana kapasitas da'i
pembangun umat ini apakah mereka berilmu tentang dien/agamanya yang akan
dida'wakan atau tidak ? Dan ini adalah musibah Innalillahi wa innalillahi
rojiun.
Ilmu merupakan sandi terpenting dari hikmah.
Sebab itu, Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum
berkata dan beramal. Firman Allah :
Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada
Illah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat tinggalmu. (Muhammad :19).
Imam Bukhari rahimahullah membicarakan masalah
ini dalam bab khusus, yakni bab Ilmu sebelum berkata dan beramal.
Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan
Nabi-Nya dengan dua hal, yaitu berilmu lalu beramal, atau berilmu sebelum
beramal. Hal ini dapat kita lihat dari susunan ayat diatas, yaitu :
Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah
melainkan Allah...
Ayat ini menunjukkan perintah untuk berilmu.
Selanjutnya perintah ini diikuti perintah beramal, yaitu :
'...Dan mohonlah ampunan bagi dosamu...
Dari taat tersebut dapat diketahui bahwa urutan
ilmu mendahului urutan amal. Ilmu merupakan syarat keabsahan perkataan dan
perbuatan. Shahihnya amal karena shahihnya ilmu. Disamping, itu ilmu merupakan
tempat tegaknya dalil.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disampaikan
Rasul atau bisa juga ilmu yang bukan dari Rasul, yaitu ilmu-ilmu yang diluar
masalah diniyah, misalnya beberapa segi ilmu kedokteran, pertanian dan
perdagangan.
Seorang da'i tidak dikatakan bijaksana, kecuali
bila ia memahami ilmu syar'i. Jika dari awal hingga akhir perjalanan dakwahnya
ia tidak melalui jalur ilmu ini, ia akan kehilangan jalan petunjuk dan
keberuntungan. Inilah konsensus orang arif. Tidak diragukan lagi bahwa pembenci
ilmu adalah penyamun dan pelaku perbuatan iblis dan pengawalnya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang terpuji,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an dan As Sunnah, ilmu yang diwariskan
para nabi. Rasulullah bersabda :
Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham
dan dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya, ia
sangat beruntung. (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Ibnu Taimiyah membagi ilmu yang bermanfaat,
menjadi tiga bahagian, yaitu :
Pertama, ilmu tentang Allah,
nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan lain-lain, seperti yang disebutkan adalah
Al-Qur'an surat Al Ikhlas.
Kedua, ilmu tentang persoalan-persoalan
masa lalu yang dikabarkan Allah; persoalan-persoalan masa kini, dan
persoalan-persoalan masa mendatang, seperti yang dikabarkan dalam Al-Qur'an,
yaitu ayat-ayat tentang kisah-kisah, janji-janji, ancaman, surga, neraka, dam
sebagainya.
Ketiga, ilmu tentang perintah Allah yang
berhubungan dengan hati dan anggota badan, seperti iman kepada Allah melalui
pengenalan hati serta amaliah anggota badan. Pemahaman ini bersumber pada
pengetahuan dasar-dasar iman dan kaidah-kaidah islam. Berawal dari pemahaman
ini, tersusunlah pemahaman tentang ketetapan perbuatan-perbuatan lahiriah,
sebagaimana dapat dijumpai dalam kitab-kitab fiqh yang dimaksudkan untuk
mengetahui hukum-hukum perbuatan lahir. Hukum-hukum tersebut merupakan dari
ilmu dinniyah.
Banyak orang yang masih keliru memahami masalah
ilmu. Mereka memahami Al-Qur'an dan As Sunnah hanya sebatas verbalitas semata,
dan tidak memahami hakekat yang terkandung didalamnya. Betapa banyak orang yang
hafal ayat Al- Qur'an, namun tidak memahami isinya. Perbuatan seperti ini tentu
saja bukan termasuk perbuatan orang-orang beriman, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallahu 'Alaihi wa Sallam:
Perumpamaan orang yang beriman membaca Al Qur'an
seperti jeruk sitrun yang baunya wangi dan rasanya manis. Perumpamaan orang
beriman yang tidak membaca Al-Qur'an seperti kurma yang tidak berbau dan
rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur'an seperti
sekuntum bunga yang baunya wangi, tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang
munafik yang tidak membaca Al-Qur'an seperti labu yang tidak berbau dan rasanya
pahit. (HR Bukhari dan Muslim)
Seorang mukmin yang tidak hafal huruf-huruf dan
surat-surat Al Qur'an lebih baik dari pada seorang tidak beriman atau munafik
yang menghafal Al Qur'an. Namun seorang mukmin yang berpengetahuan dan
bijak-yaitu mukmin yang dikaruniai ilmu dan iman-jauh lebih baik dari pada
mukmin yang tidak berilmu.
Ilmu yang sempurna adalah ilmu yang diendapkan
dalam hati, kemudian diamalkan. Inilah yang juga disebut ilmu bermanfaat, yang
nerupakan sandi terpenting dari hikmah. Ilmu ini akan memberikan kebaikan
kepada pemiliknya, sedangkan ilmu tanpa amal akan menghujat pemiliknya pada
hari kiamat. Oleh karena itu, Allah memperingatkan kaum beriman yang hanya bisa
berbicara tetapi tidak melakukan apa-apa. Firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang kamu tidak perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash Shaf: 2 - 3)
Allah juga memperingatkan kita agar tidak
meyembunyikan ilmu. Kita diperintahkan untuk menyampaikan ilmu yang merupakan
karunia Allah itu sebatas kemampuan kita. Allah tidak memaksakan seseorang
kecuali dalam batas kemampuannya. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa
yang telah Kami turunkan, berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu
dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.
(Al Baqarah:159)
Meskipun ayat diatas ditujukan kepada Ahli Kitab,
hukumnya berlaku umum bagi setiap orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan
dan petunjuk-petunjuk kebenaran yang diturunkan Allah. Dengan demikian,
jelaslah jalan menunju surga dan jalan menuju neraka. Orang yang rugi adalah
orang yang menyembunyikan sesuatu yang diturunkan Allah dan menipu
hamba-hamba-Nya. Ia akan dilaknat Allah dan semua makhluk-Nya, karena dia telah
menipu makhluk, merusak dien/agama, dan menjauhkan diri dari rahmat Allah.
Sebaliknya, orang yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada manusia, akan
dimintakan ampun oleh setiap makhluk, termasuk ikan-ikan dan burung-burung,
karena dia telah berbuat untuk kemaslahatan makhluk, menegakkan dien, dan
mendekatkan makhluk kepada Allah.
Masih dalam kaitan ini , Nabi Shallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda :
Orang yang ditanya tentang ilmu, lalu
menyembunyikannya (merahasiakannya), maka kelak pada hari kiamat pada mulutnya
akan dipasang kendali dari api neraka. (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan
Ahmad).
Demikianlah, sebuah ilmu dikatakan bermanfaat
jika disertai amal. Sehubungan dengan ini, Sufyan bin Uyainah
berkomentar,manusia paling bodoh adalah yang membiarkan kebodohannya, manusia
paling pandai adalah yang mengandalkan ilmunya, sedangkan manusi paling utama
adalah yang takut kepada Allah.
Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan:
Wahai orang-orang berilmu, amalkan ilmu kalian,
karena orang yang mengamalkan ilmunya atau orang yang perbuatannya sesuai
dengan ilmunya, dialah mukmin sejati.
Abu Darda berkata :
Tidaklah kamu menjadi orang yang berfatwa sebelum
kamu berilmu, dan tidaklah kamu indah dengan berilmu, sebelum kamu
beramalkannya.
Simak pula perkataan seorang penyair:
Jika ilmu tidak kau amalkan, ia
akan menjadi bukti atasmu.
Dan kamu beralasan jika kamu tidak
mengetahuinya.
Kalau kamu memperoleh ilmu
Sesungguhnya, setiap perkataan
seseorang akan dibenarkan olah perbuatannya.
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui
bahwa ilmu tidak akan menjadi bagian dari sendi-sendi hikmah kecuali jika
disertai amal. Setiap ilmu yang dipelajari sahabat nabi atau generasi salafus
shaleh selalu disertai amal. Karena itu, segala perkataan, perbuatan, dan
gerak-gerik mereka senantiasa penuh hikmah. Dalam hal ini Nabi Shallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda:
Tidak ada iri kecuali terhadap dua oang, yakni:
orang yang dikaruniai harta lalu disalurkannya pada jalan yang hak dan orang
yang diberi hikmah (ilmu) lalu dia amalkan dan ajarkan. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Nabi pernah mendoakan Abdullah bin Abbas r.a.
agar ia diberi hikmah da pemahaman dalam agama. Doa beliau. Ya Allah, ajarilah
ia hikmah. Dalam lafazh lain, Ya Allah ajarilah ia Al Kitab. Atau Ya Allah,
berilah ia pemahaman dalam agama. (HR. Bukhari).
Cara-cara Memperoleh Ilmu
Banyak cara untuk memperoleh ilmu yang
bermanfaat. Namun yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Seorang hamba hendaknya meminta ilmu yang bermanfaat kepada
Rabb-nya. Allah telah memerintahkan kepada Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam agar
minta ditambahkan ilmu kepada-Nya. Allah berfirman:
...Dan katakanlah,'Wahai
Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu. (Thaha:114)
salah satu doa beliau
adalah:Ya Allah, berilah manfaat ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku. Ajarkanlah
aku sesuatu yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah aku ilmu.
2. Bersungguh-sungguh dan berkeinginan keras dalam mencari ilmu,
serta dengan mengharap ridha Allah. Terlebih dalam menuntut ilmu Al Kitab dan
As Sunnah.
Diriwayatkan bahwa seorang
laki-laki telah data kepada Abu Hurairah, dan berkata, aku ingin belajar ilmu
dan aku khawatir akan menyia-nyiakannya. Abu Hurairah menjawab, cukuplah jika
engkau tidak menyia-nyiakannya.
Ketika ditanya tentang
bagaimana cara memperoleh ilmu, sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa cara
memperoleh ilmu adalah dengan kemauan keras, senang mendengar dan mencarinya,
mengajarkan kepada yang tidak tahu, dan belajar kepada yang tahu. Jika hal itu
telah dilakukan, berarti kita telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui
sebelumnya, dan memelihara sesuatu yang telah kita ketahui. Dalam kaitan ini,
Imam Syafi'i mengatakan. Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam
hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan
guru, dan perlu waktu lama.
3. Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. Hal ini
merupakan faktor terpenting untuk memperoleh ilmu. Allah berfirman:
...Dan bertakwalah kepada
Allah. Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Al Baqarah:
282).
Hai orang-orang beriman, jika
kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
furqan/pembeda... (Al Anfal: 29)
Ayat-ayat tersebut menegaskan
bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi ilmu, sehingga ia akan mampu
membedakan yang hak dan yang bathil.
Abdullah bin Abbas berasumsi
bahwa seseorang melupakan ilmu karena dosa yang dilakukannya. Dalam kaitan ini,
Umar bin Abdul Aziz mengatakan, Seorang hakim hendaknya mempunyai lima sifat,
yaitu: faham, sabar, tidak maksiat, tegas dan menyadari tanggung jawab ilmu.
Imam Syafi'i pernah mengeluh
kepada Waki' (guru) tentang kesulitannya dalam menghafal. Kemudian dikata
kepada imam Syafi'i bahwa ilmu merupakan cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak
akan diberikan kepada pelaku maksiat.
4. Tidak sombong dan tidak malu dalam mencari ilmu. Aisyah pernah
mengatakan,Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu
bertanya tentang agama.
Sebuah riwayat mengatakan
bahwa Ummu Sulaiman pernah bertanya kepada Rasulullah,Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah tidak malu kepada yang hak, apakah wanita wajib mandi jika
mimpi? Nabi menjawab, Ya, jika melihat air.
Seorang Mujahid
mengatakan,Orang pemalu dan sombong tidak akan mendapat ilmu.
5. Ikhlas dalam mencari ilmu. Rasulullah bersabda:
Barang siapa belajar suatu
ilmu yang terkait dengan maksud karena Allah, tetapi dipelajari untuk tujuan
keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium harumnya surga pada hari kiamat.
(HR. Abu Daud dan Ibnu Maja)
6. Mengamalkan ilmu. Telah dibahas sebelumnya bahwa ilmu tidak
menjadi hikmah, kecuali jika diamalkan dengan ikhlas dan berkesinambungan.
------------------
Disarikan dari Dakwah islam Dakwah bijak-oleh
Said bin Ali bin Wahif Al Qahthani- Penerjemah Masykur Hakim dan Ubaidillah GIP
1994 hal. 32-39
0 comments:
Post a Comment