Showing posts with label HADITS. Show all posts
Showing posts with label HADITS. Show all posts

Mar 9, 2013

Peran Ilmu Dalam Kehidupan Sehari-hari

Peran Ilmu Dalam Kehidupan Sehari-hari
Penulis: Ustadz Zuhair Syarif

Bumi tanpa cahaya matahari akan hampa dan kehidupan akan binasa. Begitulah ibarat hati manusia, tanpa cahaya ilmu hati akan sakit dan mati. Di dalam hati seorang yang sakit, terdapat dua kecintaan dan dua penyeru. Kecintaan terhadap syahwat-syahwat, mengutamakannya dan semangat untuk melampiaskannya. Terdapat hasad, sombong, bangga diri, suka popularitas dan suka membuat kerusakan di muka bumi dengan kekuasaannya. Dia akan diuji di antara dua penyeru kepada Allah dan Rosul-Nya serta negeri akhirat dan penyeru kepada kenikmatan dunia yang fana. Maka dia akan menjawab seruan itu mana yang paling dekat dengannya.

Seorang yang hatinya mati, dia tidak tahu tentang Rabb-nya, tidak menyembah-Nya, tidak mencintai apa yang dicintai-Nya dan tidak mencari Ridlo-Nya. Tetapi dia hanya menurti ambisi syahwat walaupun di sana akan mendatangkan kemarahan Rabb-Nya. Dia tidak peduli apakah Rabb-Nya ridlo atau murka yang penting dia telah melampiaskan syahwat dan keinginannya. 

Rasa cinta, takut, pengharapan, keridloan, kemarahan, pengagungan, dan kerendahan dirinya diperuntukkan kepada selain Allah. Jika cinta, benci, memberi dan tidak memberi karena hawa nafsunya. Hawa nafsunyalah yang paling dia utamakan dan paling dia cintai dibanding keriloan maulanya  (Allah Ta’ala). Maka jadilah hawa nafsu sebagai pimpinannya, syahwat sebagai penuntunnya, kebodohan sebagai pengemudinya dan lalai sebagai kendaraannya.

Sebagai hati yang disinari oleh cahaya ilmu dan disirami sejuknya ilmu, penyakit-penyakit yang berkarat di dalam hati akan terkikis dan sirna, jadilah hati tersebut bersih, sehat dan selamat. Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang selalu menyelisihi perintah dan larangan Allah, selamat dari setiap syubhat (bid’ah) yang merancukan wawasannya, selamat dari kesyirikan dan selamat dari berhukum kepada selain Rosul-Nya. 

Dia selalu mengutamakan keridhoan-keridhoan Rabb-Nya dengan segala cara. Rasa cinta, tawakal, taubat, takut, pengharapan dan amalannya ikhlas hanya untuk Allah. Jika dia cinta, memberi dan tidak semuanya karena Allah Ta’ala. Seorang yang mempunyai hati inilah yang selamat pada hari kiamat. 

Allah berfirman : “Pada hari yang tidak bermanfaat harta tidak pla anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat” (Q.S Asy-Syu’ara : 88 – 89). (lihat Kitab Mawaridul Aman Al-Muntaqo min Ighotsatil Lahafan fi Mashoyidis Syaithon karya Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dengan tulisan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Hal 33 – 37).

Demikian keadaan hati yang tidak disinari dan hati yang selalu disinari dan disirami cahaya ilmu. Jelaslah bahwa ilmu itu sebagai obat penyakit yang ada pada dada manusia. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepada kalian, pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit  (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S. Yunus : 57).

“Maka Mauidlah (pelajaran/ilmu) sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Sesungguhnya kebodohan itu adalah penyakit, obatnya adalah bimibngan’. Demikian penafsiran al Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Rahimahullah (lihat Kitab Mawarid hal 45).

Dengan ini wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan, budak maupun orang merdeka untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam,  “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam Al-Mizzy).

Kemudian apa sebetulnya yang dimaksud engan ilmu yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits tentang keutamaan dan kedudukan orang yang mengilmuinya ? Al Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani rahimahullah menafsirkan ayt yang dibawaka oleh Al-Imam Bukhori dalam shohihnya “Bab Keutamaan Ilmu” :
 “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS Thoha : 114) Beliau (Ibnu Hajar) berkata : “Ini dalil yang sangat jelas tentang keutamaan ilmu, karena Allah tidak pernah menyuruh Nabi-Nya Shalallahu’alaihi wasallam untuk meminta tambhan kecuali tambahan ilmu. Maksud ilmu tersebut adalah ilmu syar’I, yang berfaedah memberi pengetahuan apa yang wajib atas setiap mukallaf (muslim dan muslimah yang baligh) tentang perkara agama,ibadah dan muamalahnya. Ilmu mempelajari tentang Allah dan sifat-sifatnya dan apa yang wajib dia lakukan dari perintah-Nya serta mensucikannya dari sifat-sifatnya dan apa yang tercela. Poros dari semua itu adalah ilmu tafsir, ilmu Hadits dan ilmu Fiqh” (lihat Kitab Fathul Baari Syarah Shohih Bukhari 1/40).

Maka ilmu yang wajib kita pelajari adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah, Rasul-Nya, Agama-Nya dengan dalil-dalil (lihat kitab Al-Ushuluts Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahab bin Sulaiman Bin Ali At-Tamimi Rahimahullah hal 1-3).

Belajar ilmu yang dimaksud di atas, harus bersumber dari Al-Quran dan Hadits sesuai dengan pemahaman Salaf (para Sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Sebagian Ahlul ilmu (para ulama) sepakat : “ilmu adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya serta perkataan para sahabat tiada keraguan padanya” (lihat Bahjatunnadlirin syarah Riyadlusshalihin karya Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali Juz 2 Hal 462).

Al-Imam Al-Auza’I berkata “Ilmu adalah apa yang datang dari sahabat-sahabat Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam dan sesuatu yang tidak datang dari mereka, maka itu bukan ilmu.” (dikeluarkan oleh Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-Jaami’ 2/29)
Al-Imam Abu Muhammad Al-Barbahari rahimahullah menyatakan, "Bahwa al-haq (kebenaran) adalah apa yang datang dari sisi Allah Azza wa Jalla, as-sunnah : sunnah (hadits) Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan Al-Jama'ah : kesepakatan  (ijma') para sahabat-sahabat shalallahu'alaihi wasallam pada khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman." (Syarhus Sunnah hal 105 No. 105).

Kesimpulan
Tuntutlah ilmu, maka sesungguhnya ilmu sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Bersemangatlah, carilah dari ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berpedoman kepada Al-Quran dan Al-Hadits dengan pemahaman salaf (para sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Dan hati-hatilah dari ahlul bid'ah yang memakai ro'yu (pikiran), qiyas (yang bathil), perasaan dan ta'wil dalam memahami/menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits  (lihat Syarhus Sunnah dan muqodimah kitab shohih muslim).
Sebagaimana himbauan seorang ulama dari kalangan Tabi'in Muhammad bin Sirrin rahimahullah : "Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian."(diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqodimah Kitab Shohihnya 1/14). Wallahu Ta'ala A'lam.

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.

Mar 8, 2013

Keutamaan Orang yang Mengetahui dan Mengajar

Keutamaan Orang yang Mengetahui dan Mengajar
Penulis: Ibnu Hajar Al Asqalani (Kitab Fathul Bari)

Kitab Fathu Bari - Hadits nomor 79 (yang artinya) : 
Dari Abi Musa Radhiallahu Anhu, katanya Nabi Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan, yang oleh karena itu Allah mengutus aku untuk menyampaikanya, seperti hujan lebat jatuh ke bumi; bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak. Ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam. Ada pula hujan yang jatuh kebagian lain, yaitu di atas tanah yang tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama, yang mau memanfaatkan sesuatu yang oleh karena itu Allah mengutus aku menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya. Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya."Abu Abdillah berkata, bahwa Ishaq berkata," Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air, tapi tidak menyerap."
 
Kandungan Hadits

Tentang hadits diatas, setelah memaparkan keterangan yang menjelaskan hadits diatas dari segi bahasa (arab), Ibnu Hajar Al-Asqalani -penulis kitab fikih (klasik) Bulughul Maram- dalam kitabnya Fathul Bari, menjelaskan :

Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang diperlukan ketika mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.

Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan, akan tetapi dia mengejarkannya untuk orang lain, maka bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengerjakannya seperti yang dia dengar." Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilignya.

Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua, adalah karena keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga, karena tercela dan tidak bermanfaat.
Kemudian dalam setiap perumpamaan terdiri dari dua kelompok. Perumpamaan pertama telah kita jelaskan tadi, sedang perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama (Islam) namun tidak mendengarkan ilmu atau mendengarkan tapi tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan Nabi Shallallahu Alaihi was Sallam dalam sabdanya, "Orang yang tidak mau memikirkan" atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.

Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tapi dia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir diatasnya tapi tidak dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan perkataan beliau, "Dan tidak perduli dengan petunjuk Allah".
Ath-Thibi mengatakan, "Manusia terbagi menjadi dua. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkan kepada orang lain. Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan untuk dirinya, tapi dia mengajarkan kepada orang lain. Menurut saya kategori pertama masuk dalam kelompok pertama, karena secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatnya berbeda. Begitu pula dengan tanaman yang tumbuh, diantaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk dalam kelompok kedua seperti yang telah kita jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya. Orang semacam ini termasuk dalam, man lam yar fa' bi dzalika ro san. Wallahu a'lam"

Penutup
Dari uraian diatas, mari kita berkaca pada pribadi masing-masing. Termasuk dalam kelompok manakah kita ; kelompok tanah yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain, ataukah kelompok tanah yang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya? Semoga Allah memudahkan jalan kebaikan dan (kemudian) menempuhnya untuk yang telah menulis dan membaca tulisan ini, Amin

Ilmu : Sendi-Sendi Hikmah

Ilmu : Sendi-Sendi Hikmah
Oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qathani

Kita semua sepakat bahwa sebuah gedung yang tinggi (misalnya masjid Is-Tiqlal di Jakarta) pasti memerlukan banyak ahli ilmu teknik bangunan yang mereka benar-benar ahli (Insiyur Teknik Sipil dan Arsitektur) alias berilmu dalam bidangnya dan berpengalaman agar gedung itu berdiri dengan kuat,kokoh dan awet. Juga seseorang yang mengobati penyakit haruslah berpendidikan kesehatan (dokter mis.) Namun ketika orang-orang ditanya bagaimankah membangun umat Islam ini ? Maka mayoritas orang tidak terlalu memikirkan bagaimana kapasitas da'i pembangun umat ini apakah mereka berilmu tentang dien/agamanya yang akan dida'wakan atau tidak ? Dan ini adalah musibah Innalillahi wa innalillahi rojiun.

Ilmu merupakan sandi terpenting dari hikmah. Sebab itu, Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum berkata dan beramal. Firman Allah :

Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (Muhammad :19).

Imam Bukhari rahimahullah membicarakan masalah ini dalam bab khusus, yakni bab Ilmu sebelum berkata dan beramal.

Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal, yaitu berilmu lalu beramal, atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita lihat dari susunan ayat diatas, yaitu :
Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah melainkan Allah...

Ayat ini menunjukkan perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah ini diikuti perintah beramal, yaitu :
'...Dan mohonlah ampunan bagi dosamu...

Dari taat tersebut dapat diketahui bahwa urutan ilmu mendahului urutan amal. Ilmu merupakan syarat keabsahan perkataan dan perbuatan. Shahihnya amal karena shahihnya ilmu. Disamping, itu ilmu merupakan tempat tegaknya dalil.

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disampaikan Rasul atau bisa juga ilmu yang bukan dari Rasul, yaitu ilmu-ilmu yang diluar masalah diniyah, misalnya beberapa segi ilmu kedokteran, pertanian dan perdagangan.
Seorang da'i tidak dikatakan bijaksana, kecuali bila ia memahami ilmu syar'i. Jika dari awal hingga akhir perjalanan dakwahnya ia tidak melalui jalur ilmu ini, ia akan kehilangan jalan petunjuk dan keberuntungan. Inilah konsensus orang arif. Tidak diragukan lagi bahwa pembenci ilmu adalah penyamun dan pelaku perbuatan iblis dan pengawalnya.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang terpuji, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an dan As Sunnah, ilmu yang diwariskan para nabi. Rasulullah bersabda :

Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham dan dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya, ia sangat beruntung. (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Ibnu Taimiyah membagi ilmu yang bermanfaat, menjadi tiga bahagian, yaitu :

Pertama, ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan lain-lain, seperti yang disebutkan adalah Al-Qur'an surat Al Ikhlas.

Kedua, ilmu tentang persoalan-persoalan masa lalu yang dikabarkan Allah; persoalan-persoalan masa kini, dan persoalan-persoalan masa mendatang, seperti yang dikabarkan dalam Al-Qur'an, yaitu ayat-ayat tentang kisah-kisah, janji-janji, ancaman, surga, neraka, dam sebagainya.

Ketiga, ilmu tentang perintah Allah yang berhubungan dengan hati dan anggota badan, seperti iman kepada Allah melalui pengenalan hati serta amaliah anggota badan. Pemahaman ini bersumber pada pengetahuan dasar-dasar iman dan kaidah-kaidah islam. Berawal dari pemahaman ini, tersusunlah pemahaman tentang ketetapan perbuatan-perbuatan lahiriah, sebagaimana dapat dijumpai dalam kitab-kitab fiqh yang dimaksudkan untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan lahir. Hukum-hukum tersebut merupakan dari ilmu dinniyah.

Banyak orang yang masih keliru memahami masalah ilmu. Mereka memahami Al-Qur'an dan As Sunnah hanya sebatas verbalitas semata, dan tidak memahami hakekat yang terkandung didalamnya. Betapa banyak orang yang hafal ayat Al- Qur'an, namun tidak memahami isinya. Perbuatan seperti ini tentu saja bukan termasuk perbuatan orang-orang beriman, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam:

Perumpamaan orang yang beriman membaca Al Qur'an seperti jeruk sitrun yang baunya wangi dan rasanya manis. Perumpamaan orang beriman yang tidak membaca Al-Qur'an seperti kurma yang tidak berbau dan rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur'an seperti sekuntum bunga yang baunya wangi, tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur'an seperti labu yang tidak berbau dan rasanya pahit. (HR Bukhari dan Muslim)

Seorang mukmin yang tidak hafal huruf-huruf dan surat-surat Al Qur'an lebih baik dari pada seorang tidak beriman atau munafik yang menghafal Al Qur'an. Namun seorang mukmin yang berpengetahuan dan bijak-yaitu mukmin yang dikaruniai ilmu dan iman-jauh lebih baik dari pada mukmin yang tidak berilmu.
Ilmu yang sempurna adalah ilmu yang diendapkan dalam hati, kemudian diamalkan. Inilah yang juga disebut ilmu bermanfaat, yang nerupakan sandi terpenting dari hikmah. Ilmu ini akan memberikan kebaikan kepada pemiliknya, sedangkan ilmu tanpa amal akan menghujat pemiliknya pada hari kiamat. Oleh karena itu, Allah memperingatkan kaum beriman yang hanya bisa berbicara tetapi tidak melakukan apa-apa. Firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash Shaf: 2 - 3)

Allah juga memperingatkan kita agar tidak meyembunyikan ilmu. Kita diperintahkan untuk menyampaikan ilmu yang merupakan karunia Allah itu sebatas kemampuan kita. Allah tidak memaksakan seseorang kecuali dalam batas kemampuannya. Allah berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan, berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. (Al Baqarah:159)
Meskipun ayat diatas ditujukan kepada Ahli Kitab, hukumnya berlaku umum bagi setiap orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan dan petunjuk-petunjuk kebenaran yang diturunkan Allah. Dengan demikian, jelaslah jalan menunju surga dan jalan menuju neraka. Orang yang rugi adalah orang yang menyembunyikan sesuatu yang diturunkan Allah dan menipu hamba-hamba-Nya. Ia akan dilaknat Allah dan semua makhluk-Nya, karena dia telah menipu makhluk, merusak dien/agama, dan menjauhkan diri dari rahmat Allah. Sebaliknya, orang yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada manusia, akan dimintakan ampun oleh setiap makhluk, termasuk ikan-ikan dan burung-burung, karena dia telah berbuat untuk kemaslahatan makhluk, menegakkan dien, dan mendekatkan makhluk kepada Allah.
Masih dalam kaitan ini , Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :

Orang yang ditanya tentang ilmu, lalu menyembunyikannya (merahasiakannya), maka kelak pada hari kiamat pada mulutnya akan dipasang kendali dari api neraka. (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Demikianlah, sebuah ilmu dikatakan bermanfaat jika disertai amal. Sehubungan dengan ini, Sufyan bin Uyainah berkomentar,manusia paling bodoh adalah yang membiarkan kebodohannya, manusia paling pandai adalah yang mengandalkan ilmunya, sedangkan manusi paling utama adalah yang takut kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan:
Wahai orang-orang berilmu, amalkan ilmu kalian, karena orang yang mengamalkan ilmunya atau orang yang perbuatannya sesuai dengan ilmunya, dialah mukmin sejati.
Abu Darda berkata :
Tidaklah kamu menjadi orang yang berfatwa sebelum kamu berilmu, dan tidaklah kamu indah dengan berilmu, sebelum kamu beramalkannya.
Simak pula perkataan seorang penyair:
Jika ilmu tidak kau amalkan, ia akan menjadi bukti atasmu.
Dan kamu beralasan jika kamu tidak mengetahuinya.
Kalau kamu memperoleh ilmu
Sesungguhnya, setiap perkataan seseorang akan dibenarkan olah perbuatannya.
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa ilmu tidak akan menjadi bagian dari sendi-sendi hikmah kecuali jika disertai amal. Setiap ilmu yang dipelajari sahabat nabi atau generasi salafus shaleh selalu disertai amal. Karena itu, segala perkataan, perbuatan, dan gerak-gerik mereka senantiasa penuh hikmah. Dalam hal ini Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Tidak ada iri kecuali terhadap dua oang, yakni: orang yang dikaruniai harta lalu disalurkannya pada jalan yang hak dan orang yang diberi hikmah (ilmu) lalu dia amalkan dan ajarkan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi pernah mendoakan Abdullah bin Abbas r.a. agar ia diberi hikmah da pemahaman dalam agama. Doa beliau. Ya Allah, ajarilah ia hikmah. Dalam lafazh lain, Ya Allah ajarilah ia Al Kitab. Atau Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam agama. (HR. Bukhari).
Cara-cara Memperoleh Ilmu
Banyak cara untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat. Namun yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.      Seorang hamba hendaknya meminta ilmu yang bermanfaat kepada Rabb-nya. Allah telah memerintahkan kepada Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam agar minta ditambahkan ilmu kepada-Nya. Allah berfirman:
...Dan katakanlah,'Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu. (Thaha:114)
salah satu doa beliau adalah:Ya Allah, berilah manfaat ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku. Ajarkanlah aku sesuatu yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah aku ilmu.
2.      Bersungguh-sungguh dan berkeinginan keras dalam mencari ilmu, serta dengan mengharap ridha Allah. Terlebih dalam menuntut ilmu Al Kitab dan As Sunnah.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah data kepada Abu Hurairah, dan berkata, aku ingin belajar ilmu dan aku khawatir akan menyia-nyiakannya. Abu Hurairah menjawab, cukuplah jika engkau tidak menyia-nyiakannya.
Ketika ditanya tentang bagaimana cara memperoleh ilmu, sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa cara memperoleh ilmu adalah dengan kemauan keras, senang mendengar dan mencarinya, mengajarkan kepada yang tidak tahu, dan belajar kepada yang tahu. Jika hal itu telah dilakukan, berarti kita telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dan memelihara sesuatu yang telah kita ketahui. Dalam kaitan ini, Imam Syafi'i mengatakan. Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama.
3.      Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. Hal ini merupakan faktor terpenting untuk memperoleh ilmu. Allah berfirman:
...Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Al Baqarah: 282).
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan/pembeda... (Al Anfal: 29)
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi ilmu, sehingga ia akan mampu membedakan yang hak dan yang bathil.
Abdullah bin Abbas berasumsi bahwa seseorang melupakan ilmu karena dosa yang dilakukannya. Dalam kaitan ini, Umar bin Abdul Aziz mengatakan, Seorang hakim hendaknya mempunyai lima sifat, yaitu: faham, sabar, tidak maksiat, tegas dan menyadari tanggung jawab ilmu.
Imam Syafi'i pernah mengeluh kepada Waki' (guru) tentang kesulitannya dalam menghafal. Kemudian dikata kepada imam Syafi'i bahwa ilmu merupakan cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.
4.      Tidak sombong dan tidak malu dalam mencari ilmu. Aisyah pernah mengatakan,Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu bertanya tentang agama.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Ummu Sulaiman pernah bertanya kepada Rasulullah,Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu kepada yang hak, apakah wanita wajib mandi jika mimpi? Nabi menjawab, Ya, jika melihat air.
Seorang Mujahid mengatakan,Orang pemalu dan sombong tidak akan mendapat ilmu.
5.      Ikhlas dalam mencari ilmu. Rasulullah bersabda:
Barang siapa belajar suatu ilmu yang terkait dengan maksud karena Allah, tetapi dipelajari untuk tujuan keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium harumnya surga pada hari kiamat. (HR. Abu Daud dan Ibnu Maja)
6.      Mengamalkan ilmu. Telah dibahas sebelumnya bahwa ilmu tidak menjadi hikmah, kecuali jika diamalkan dengan ikhlas dan berkesinambungan.
------------------
Disarikan dari Dakwah islam Dakwah bijak-oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qahthani- Penerjemah Masykur Hakim dan Ubaidillah GIP 1994 hal. 32-39

Blogger templates